Sejarah dan Keunikan Batik Oey Soe Tjoen
Di tengah dunia batik yang kaya akan corak dan makna, nama Oey Soe Tjoen mungkin tidak terlalu dikenal oleh masyarakat luas. Namun di kalangan penggemar batik tulis halus, nama ini memiliki arti yang sangat penting—bahkan menjadi legenda. Batik Oey Soe Tjoen (OST) telah menjadi bagian dari sejarah Indonesia selama satu abad sejak didirikan pada tahun 1925 di Kedungwuni, Pekalongan. Selama masa itu, batik OST bukan hanya sekadar kain, tetapi juga menjadi karya seni yang menggambarkan perjalanan budaya dan tradisi.
Batik OST lahir dari pertemuan berbagai budaya, termasuk Jawa, Tionghoa, Eropa, dan Arab. Lokasi Pekalongan sebagai kota pesisir dan pusat perdagangan pada masa lalu memberikan pengaruh besar dalam menciptakan corak yang unik. Awalnya, corak batik OST menyerupai bunga khas Belanda seperti buketan, kemudian berkembang menjadi motif peranakan Tionghoa seperti lotus dan anggrek. Meski tampak serupa dengan batik lainnya, setiap helai batik OST dibuat secara manual, ditulis di dua sisi kain, dan menggunakan teknik pewarnaan yang rumit serta penuh detail. Proses ini membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan hingga bertahun-tahun, demi menjaga tradisi dan kualitas yang sudah diwariskan dari generasi ke generasi.
Dulu, batik OST sempat populer di kalangan bangsawan dan menjadi mas kawin favorit sebelum masa pendudukan Jepang. Setelah itu, batik OST mulai masuk ke ranah seni tinggi. Karyanya dikoleksi oleh museum di Amerika Serikat, Eropa, Asia, bahkan masuk ke rumah lelang internasional. Kini, batik OST tidak hanya dikenal di dalam negeri, tetapi juga diapresiasi oleh kolektor mancanegara. Bahkan, motif dan warna batik ini banyak ditiru oleh banyak orang.
Tantangan dalam Melestarikan Warisan Keluarga
Perjalanan batik OST tidak selalu mudah. Pada tahun 2002, tongkat estafet bisnis ini diambil alih oleh Oey Kiem Lian, yang dikenal dengan nama Widianti Widjaja. Ia awalnya tidak memiliki pengalaman dalam membatik, tetapi semangat untuk menjaga warisan keluarga membuatnya bertahan dan berkembang. Widianti tidak hanya melestarikan pakem klasik OST, tetapi juga memperkaya corak dengan sentuhan pribadi tanpa menghilangkan jati diri batik tersebut.
“Saya sebetulnya tidak suka membatik dan menjalankan bisnis ini awalnya karena terpaksa. Sebab hanya saya yang bisa mewarisi bisnis keluarga. Namun saya meyakini bahwa warisan bukan sekadar benda, tapi juga kisah perjuangan, pengabdian, cinta, dan kehormatan, jadi mau tidak mau ini harus saya perjuangkan,” ujarnya saat ditemui dalam konferensi pers beberapa waktu lalu.
Dengan keyakinan itu, Widianti bertekad untuk terus meneruskan tugasnya dalam menjaga bisnis keluarga. Ia berusaha keras agar batik OST tidak hancur di tangannya. Oleh karena itu, ia menjadi garda depan yang memastikan bahwa kualitas batik OST tetap terjaga.
“Kalau ada yang pesan, saya selalu bilang, waktu pembuatannya akan lama. Bisa tiga tahun sampai lebih, kalau mereka mau menunggu, saya buatkan. Tapi kalau tidak, ya sudah, tidak apa-apa. Karena hanya ini yang bisa saya lakukan untuk mempertahankan kualitas Oey Soe Tjoen,” tambahnya.
Perayaan 100 Tahun dan Pameran Khusus
Pada tahun 2025 ini, OST merayakan 100 tahun perjalanan merek dengan menggelar pameran bertajuk “Keteguhan Hati Merawat Warisan”. Eksibisi ini akan berlangsung pada 25 Juli–3 Agustus 2025 di Galeri Emiria Soenassa, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Lebih dari 90 lembar batik akan dipamerkan—momen langka untuk melihat langsung ragam karya OST yang penuh detail dan cerita.
Lewat pameran ini, harapannya publik tidak hanya kenal lebih jauh dengan Oey Soe Tjoen, tetapi juga mengetahui lebih dalam soal batik tulis halus. Dengan demikian, warisan budaya yang unik dan bernilai tinggi ini dapat terus dilestarikan dan dinikmati oleh generasi mendatang.